Sejarah Padukuhan di Kalurahan Patalan

Della Yusnita 07 Maret 2023 10:00:34 WIB

SEJARAH PEDUKUHAN

  1. NGAGLIK

Menurut cerita nenek moyang, Pedukuhan Ngaglik pada zaman dahulu terdapat gumuk kecil yang jauh dari pemukiman. Gumuk tersebut dihuni 9 keluarga, ada pendatang 1 menjadi 10 Keluarga, dari 9 keluarga itu yang mencetuskan nama Ngaglik. Gumuk yang jauh dari pemukiman maka terlihat “meglik-meglik” maka wilayah tersebut Ngaglik.

 

Dalam perkembangan zaman di pedukuhan Ngaglik terdapat wilayah/ tanah yang sangat angker sehingga tidak ada warga yang tidak berani menempati. Dibuatlah sandiwara barang siapa berani menempati maka akan diberikanlah tanah tersebut. Datanglah seseorang dari Desa Sirat yang menempati dan membangun rumah dan bertempat tinggal sampai menua kemudian disebut Mbah Amat Sirat. Tanah tersebut Sebagian dibangun Musala.

 

  1. JETIS PANDEAN

Pedukuhan Jetis lebih popular disebut Jetis Pandean. Menurut cerita warga pada zaman dulu bekerja sebagai pengajin roda gerobak. Roda gerobak zaman dahulu menyerupai roda andong zaman sekarang (bukan memakai roda truk). Keterampilan warga cenderung pada pembuatan seperti laker sederhana yang berbahan besi. Kemampuan warga menyerupai pande besi. Maka daerah ini disebut dengan Pandean. Seiring perkembangan masyarakat dari pengrajin roda gerobak menjadi bengkel dan pembuat andong. Keterampilan sudah terbukti sampai sekarang meskipun tinggal dua pengrajin. Pengrajin juga dipercaya memperbaiki andong milik Kraton Ngayogyakarta hadiningrat.

 

 

  1. PATALAN

Seajarah cerita asal usul Pedukuhan Patalan diceritakan oleh sesepuh warga yang bernama H.Daldiri lahir 1939. Pada mulanya ada Demang Bernama Panut yang merupakan abdi dalem Ki Ageng Mangir. Demang Panut mempunyai strategi agar masyarakat tidak terbebani pajak/upeti yang harus dikirim ke Kraton Mangir. Strategi Demang Panut yaitu meminta warga agar memelihara tawon Dowan/tawon madu. Hasil dari tawon tersebut untuk mencukupi kewajiban upeti. Ternyata hasil memelihara tala tawon itu berlipat-lipat. Masyarakat penghasil tala tersebut menjadi terkenal dengan sebutan Pa-Tala-an yang mudah disebut Patalan. Makamnya Demang Panut masih ada di Patalan.

 

  1. NGUPIT

Ngupit merupakan bagian wilayah Pedukuhan Patalan. Asal usul nama Ngupit didapat dari Bapak Tukiman Prio Sukismo lahir 1933.

 

Awal kehidupan masyarakat Ngupit miskin dan tidak maju. Kemiskinan tersebut sampai muncul mitos warga Ngupit tabu menikah dengan warga Patalan karena wilayah Ngupit yang tandus sehingga disimpulkan akan kesulitan mencukupi kehidupan makan sehari hari.

 

Perbedaan peradaban dengan wilayah sekitar sangatlah jauh. Pada suatu Ketika ada abdi dalem datang ke wilayah tersebut yang Bernama Jaya Wiyata. Beliau mengajari masyarakat tentang kemajuan, baik Bertani, ilmu batin, dan memelihara ayam. Dari hasil memelihara ayam atau Ngingu Pitik maka mereka menjadi berdaya kemudian mulai maju seperti daerah sekitarnya. Dari kata Ngingu Pitek disingkat disebut NGUPIT.

 

Pada perkembangan zaman masyarakat diajari mengaji oleh musafir/pengembara  Bernama Abdurrohman. Perkembangan agama Islam cukup bagus hingga terdapat Musala yang berfungsi sebagai tempat peribadatan. Peninggalan sejarah berupa makam Jaya Wiyata beragama Kristen tetapi keturunannya masuk Islam. Abdurohman Beragama Islam.

 

Wilayah ini terdapat makam Lotok. Makam ini adalah makam Ledek yang meninggal di daerah Ngupit dan dimakamkan. Mitos yang ada jika ada ledek yang tampil di daerah Ngupit tetapi tidak terlebih dahulu tampil di depan makam Lotok maka setelah itu akan tidak laku.

 

  1. BOBOK BANJARDOWO

Pedukuhan Bobok dibagi menjadi dua nama wilayah, yaitu Bobok dan Banjardowo. Banjardowo ini terdapat peninggalan baik berupa cerita maupun petilasan/makam. Makam yang dipercaya sebagai makam Mbah Banjar. Mbah Banjar mempunyai nama Panjang Mbah Banjar Seto. Menurut kepercayaan Beliau bertubuh tinggi dan berambut Panjang rapi dan tampan.  Sebagian warga jika akan melaksanakan hajatan maka terlebih dahulu “nyekar” ke makam Mbah Banjar sebagai bentuk bakti pada leluhur.

 

Wilayah ini bentuknya Panjang dan tipis maka disebut Banjardowo. Banjar artinya Desa/dusuh/pedukuhan. Dowo artinya Panjang. Maka wilayah ini disebut Banjardowo sekarang termasuk dalam pedukuhan Bobok.

 

Wilayah Banjardowo juga terdapat cerita rakyat/dongeng tentang Rantamsari/Lantamsari. Beliau adalah salah satu selir keraton, menurut informasi selir HB VIII. Rantamsari adalah seorang ledek yang bekerja mbarang keliling ke daerah daerah. Pada masa tua tinggal di Banjardowo sampai pada akhirnya sakit dan meninggal. Masyarakat menolak keberadaan Rantamsari tersebut. Tindakan tersebut menyebabkan Keraton mengeluarkan ipat-ipat atau kutukan bahwa warga sini tidak akan bisa memakai sepatu sampai tujuh turunan. Hal ini entah benar atau tidak tapi dalam kurang lebih tujuh turunan warga tidak ada yang bisa menjadi PNS Poltri atau sukses wiraswasta jika tidak keluar dari wilayah tersebut. Kutukan ini sudah berakhir, sekarang kegiatan masyarakat normal bahkan perekonimian menjadi berdaya.

 

  1. KETANDAN

Penamaan Ketandan tidak lepas dari istilah Tondo. Tondo adalah jabatan yang diberikan oleh Kraton kepad seseorang yang bertugas menarik pajak/upeti dari pedagang pasar. Pak Tondo ini bertempat tinggal di daerah tersebut maka daerah itu disebut Ketandan.

 

  1. KATEGAN

Nama pedukuhan Kategan tidak lepas dari Cerita rakyat tentang Kyai Kateg. Kyai Kateg atau yang mempunyai julukan Syeikh Khotib Sinemi. Kyai Kateg merupakan salah satu abdi atau pekathik dan Nujum atau penasihat spiritual Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau dipercaya sebagai penasihat spiritual Mataram dikarenakan mempunyai kelebihan kepribadian Alim dan mengutamakan peribadahan kepada Alloh SWT.  Pedukuhan ini disebut Kategan dikarenakan Kyai Kateg atau Syeikh Khotib Sinemi tinggal dan menetap diwilayah ini maka disebut kategan.

 

Setelah wafat Kyai Kateg dimakamkan di Pasarean Sasana Pralaya Kategan.  Menurut  Sejarah Silsilah Kyai Kateg Utawi Syeikh Khotib Sinemi Menika Ugi Taksih Trah Putra Wayahipun Prabu Brawijaya

 

 

  1. BUTUH

Butuh merupakan pedukuhan paling selatan di kalurahan Patalan. Asal usul Pedukuhan ini Bernama Butuh mempunyai sejarah. Berdasarkan cerita warga bahwa di wilayah ini merupakan tempat transit rombongan Kraton ketika akan sowan/ berkunjung ke Kraton Kidul. Pisowanan/kunjungan ini dalam rangka mencari butuh atau ada hajat tertentu. Tempat ini selalu digunakan untuk transit sehingga semakin lama disebut Butuh. Menurut kepercayaan supranatural dipinggir Jalan Parangtritis tepatnya perbatasan antara Patalan dengan Srihardono ini masih terdapat bangunan gaib seperti pendopo yang berguna sebagai pasar Gaib.

 

  1. DUKUH SUKUN dan NGABEAN

Tidak terlepas dari tokoh Jomuko dan Jodrono. Mereka berdua adalah kakak beradik. Jodrono merupakan seorang yang lurus dan religius.  Jodrono oleh Kraton Mangir mendapat tugas untuk memimpin suatu wilayah Dukuh Sukun yang artinya Kudu Patuh Supoyo Rukun. Hal ini juga mengandung filosofi dari pohon sukun yang banyak di daerah tersebut. Sukun merupakan buah yang tidak ada isi maka sukun perlambang masyarakat akan dijadikan seperti apa tergantung pembuat/pemimpin yang mencetak.  

 

Suatu Ketika Jodrono mengajak Jomuko untuk ikut serta tinggal didaerah tersebut. Jomuko tinggal disebelah barat Dukuh Sukun dekat dengan sungai winongo. Jomuko merupakan seorang yang berbeda kepribadian dengan Jodrono. Jomuko ahli judi yang licik. Berbeda dengan Jodrono yang merupakan abdi dalem Ki Ageng MANGIR III, Jomuko termasuk pekatik Ki Ageng Mangir IV yang sudah berkonsolidasi dengan Mataram. Mataram memasng Jomuko dengan tujuan suatu saat dapat memegang kendali wilayah tersebut agar dapat menggeser kepemimpinan Jodrono. Jomuko diberikan gelar Ngabei. Oleh karena itu tempat tinggal Jomuko diberikan nama Ngabei-an atau mudah disebut Ngabean.

 

Cerita berkelanjutan sehubungan dengan kondisi politik Kraton Mangir yang dipimpin Mangir IV kalah dengan Mataram maka Jodrono dianggap sebagai buronan Mataram kemudian bergeser/mengungsi ke daerah yang disebut Gerselo atau Pager Selo/pager batu. Di daerah ini masyarakat lebih maju dan religius. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya rumah yang mempunyai Pager Selo atau berpagar batu.

 

  1. BOBOK, GERSELO, SULANG KIDUL, SULANG LOR, dan NGABEAN

Penamaan Suren, Bobok, Gerselo, Sulang Kidul, Sulang Lor, dan Ngabean terdapat keterikatan dan keterkaitan. Sosok yang sama yaitu Asu atau anjing yang sedang melakukan perjalanan.

Hewan ini adalah Asu gaib yang melakukan perjalanan. Asu sebesar anak sapi berwarna putih yang merupakan gambaran Dahnyang atau makhluk gaib.  Perjalanan Asu ini dari jauh yang beristirahat di daerah Canden yang kemudian hari diberi nama SUREN Asu LerenAsu ini melanjutkan perjalanan kearah barat lalu bobok/tidur maka daerah itu disebut Bobok. Asu ini melanjutkan perjalanan ke barat daerah ini termasuk selo/ longgar dalam bahasa Jawa angger angger selo dan Pager Selo/ Pager batu maka disebut Gerselo. Asu ini berlari Kembali ke Barat pinggir sungai Winongo yang hanya lari ke utara dan selatan, lor kidul yang kemudian hilang, maka disebut Asu Ilang yaitu Sulang. Maka ada Sulang Lor dan Sulang Kidul.

 

Asu ini tidak berani berlari lagi ke barat dikarenakan ada sungai Winongo. Tidak berani lari ke Selatan karena disana ada Den Bei. Wilayah Den Bei, seorang dengan tubuh tinggi berjenggot   ini sekarang disebut Ngabean  dari kata Ngabei-an.

 

Terdapat cerita dari warga Bernama Mbah Atemo, suatu ketika Mbah Atemo memiliki sapi yang sedang beranak kemudian dibuakan kendang dengan pagar bambu. Suatu saat Ketika malam Jumat Kliwon, Ketika Mbah Atemo menengok kendang tidak terlihat anak sapi tersebut. Mbah Atemo melihat situasi kanan kiri barang kali ucul  atau kabur. Dari arah tenggara terlihat ada seekor hewan menyerupai anak sapi namun berwarna putih. Atas inisiatif Mbah Atemo hewan itu dimasukkan kendang namun ketika masuk kendang hewan itu malah menghilang disusul sapi Mbah Atemo terlihat Kembali. Ternyata Hewanputih tadi adalah wujud dari Asu pedahnyangan yang menjadi cerita masyarakat.

 

 

  1. GERSELO

Wilayah pedukuhan Gerselo ada di tengah-tengah wilayah Kalurahan Patalan. Penamaan Gerselo menurut cerita dikarenakan pada zaman dahulu daerah ini terdapat banyak warga yang memagar dengan batu pager selo/pager batu dan longgar atau angger-angger selo. Agar memudahkan penyebutan maka warga menyebut Pager Selo atau Gerselo yang artinya pagar batu.

 

  1. PANJANG JIWO

Menurut cerita yang beredar di masyarakat, wilayah ini merupakan pakuwon/daerah yang hidup damai dan sejahtera. Kehidupan masyarakat yang tenteram, saling membantu jyang mempunyai jiwa gotong royong yang kuat. Masyarakat ini dipimpin oleh pemimpin yang adil dan bijaksana sehinggal kepemimpinannya sangat kuat. Pemimpin wilayah tersebut Bernama Kyai Sepanjang.

 

Wilayah ini saat itu belum ada namanya, padahal kehidupan sudah berjalan damai, sejahtera, dan adil. Suatu saat Kyai Sepanjang meminta pendapat warga untuk memberi nama wilayah tersebut. Warga sudah terlalu cinta dan taat pada Kyai Sepanjang maka warga atas persetujuan Kyai Sepanjang memberi nama Panjang Jiwo dengan harapan Kyai Sepanjang dipanjangkan jiwanya /umurnya

 

Sebagai penghormatan kepada Kyai Sepanjang setelah wafat maka disematkan sebagai cikal bakal pedukuan  Panjangjiwo.  Makam kyai sepanjang dibuat panjang .  Saat ini sering dizarahi warga  masyarakat Panjangjiwo dan masyarakat umum.

  1. KARANG ASEM

Pedukuhan Karang Asem pada zaman dahulu berupa Tegalan yang terdapat grumbule  pohon asem. Grumbul adalah kumpulan pohon, kebetulan pohon yang paling terlihat adalah pohon asem. Maka daerah tersebut  disebut dengan Karang Asem

 

niku kumpulan wet, sek akeh wete asen, menawi tokoh mboten onten, cikal bakale mawon pengembara sek sedo ten daerah mriki, criyose sek kakung ten karangasem sek putri ten gerselo, ngoten miturut crito poro sesepuh, mulak no ket sak niki mboten onten tiyamg karangasem sek gadah bojo gerselo criyose, mboten elok, niku legendane

 

  1. GELANGAN

Pedukuhan Gelangan terdapat legenda yang sangat menarik. Perkawinan Panembahan Senopati kawin dengan Ratu Kidul dengan perjanjian jika Panembahan Senopati/Mataram mempunyai kebutuhan maka akan dibantu Ratu Kidul. Perkawinan tersebut menghasilkan anak dengan Sosok Ular, Beliau bernama Nagaraja. Sosok ini berwujud kepala manusia berbadan ular.

Suatu saat setelah Nagaraja beranjak dewasa bertanya siapa sebanrnya Bapaknya. Ratu kidul menjelaskan bahwa Bapak dari Nagaraja adalah Panembahan Senopati. Suatu saat Nagaraja melakukan perjalanan dari kraton kidul sowan ke Kraton Mataram. Ketika perjalanan tersebut sampai daerah yang  sekarang disebut Gelangan yang masih berujud tanah. Dia melingkarkan badannya menghadap ke utara. Kemudian meninggalkan pesan bahwa sak kupengan kae wis tak gelangi. Maka disebut Gelangan. Sebagai bukti legenda ada bukti sejarahnya parit kecil yang mengelilingi Pedukuhan Gelangan sebagai saluran tersier.

 

Di Pedukuhan Gelangan terdapat mitos penampakan Seekor Macan di makam Gelangan. Berdasarkan cerita macan tersebut adalah sosok hewan yang pernah diselamatkan oleh salah satu warga Gelangan. Macan tersebut berpesan kepada anak cucunya agar berbakti kepada orang tersebut maka setiap bulan Ruwah ada Macan yang berziarah ke makam Gelangan.

 

SALAM

Nama wilayah Salam tak lepas dari Rombongan Nagaraja yang melakukan perjalanan. Pada zaman dahulu banyak jenis makhluk seperti lampor dan lain sebagainya yang mengganggu perjalanan. Ketika Nagaraja sebagai pemimpin rombongan istirahat di wilayah yang disebut Gelangan. Para rombongan selamat dari para pengganggu/penggoda kemudian tempat istrihat itu diberi nama Salam yang artinya selamat. Sebagai bukti mitos ini yaitu daerah Salam tidak pernah terjadi Banjir meski Salam berada di pinggir sungai Winongo.

 

 

SAMALO

Cerita ini dari zaman penjajahan Belanda. Dahulu ada penjual tahu guling diwilayah pinggir jalan yang sekarang Jalan Parangtritis. Penjual tersebut adalah isteri kedua dari seorang pengobat/tabib yang bernama Mbah Arjo.

 

Mbah Arjo mempunyai keahlian pengobatan sama dengan rumah sakit paru paru yang berada di Pugeran dengan nama Samalo. Dahulu kalau ada orang sakit paru atau sakit perut berobat ke Mbah Arjo. Kesamaan nama dan pengobatan itulah oleh masyarakat disematkan juga kepada wilayah yang ditempati Mbah Arjo dan isteri kedua dengan sebutan Samalo.

 

  1. BAKULAN

Daerah Bernama bakulan ini dimulai dari datangnya sepasang suami isteri yang bekerja sebagai peedagang atau saudagar. Mereka sasudagar/pedagang yang berkelana dari jauh entah berantah kemudian singgah di wilayah (sekarang disebut Bakulan). Masyarakat menyebut mereka sebagai Kyai Bakul dan Nyai Bakul.

 

Kyai dan Nyai Bakul menghidupkan wilayah tersebut untuk perdagangan hingga daerah itu menjadi pasar yang mengangkat perekonimian wilayah itu hingga menjadi pusat jual beli/pasar Bakulan yang kemudian hari mejadi nama pedukuhan Bakulan.

 

Tidak Perlu Memcari Kebenaran Dalam Cerita Rakyat. Karena Bisa Jadi Kebenaran Kita Berbeda

 

 

 

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License